Kenangan Masa Kecil


Day 25

Berbicara tentang masa kecil.
Masa kecil saya sama saja dengan masa kecil orang atau anak pada umumnya.
Berangkat sekolah setiap pagi hari rame-rame dengan berjalan kaki, kerja kelompok di rumah teman (biar dapat uang jajan tambahan), main menggunakan benda-benda ajaib tempo dulu (congklak, kuwuk, bola bekel, nintendo.dll), berebut peran (dulu rebutan memerankan tokoh Sherina, ketika lagi rame serial film-nya), ngecengin anak cowok beda sekolah (yang ini umum gak sih? haha), ya begitu-begitu lah.

Yang pasti dulu kewajiban seorang anak itu hanya 'belajar' dan berbakti kepada orang tua, tidak serumit seperti sekarang ini ketika dewasa



Jika pertanyaannya ditambahi dengan kata, Kenangan Masa Kecil "yang berkesan"? mungkin hasilnya akan sedikit berbeda antara kenangan satu anak dengan yang lainnya.

Kenangan Masa Kecil saya yang paling berkesan atau yang akan saya ganti memiliki 'makna' begitu dalam (karena berkesan itu sering dikaitkan dengan hal-hal yang membahagiakan) adalah ketika saya dipisahkan dengan seorang adik kandung perempuan oleh kematian.

Kematian adalah pemisah antara yang hidup dengan yang mati.
Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati, begitu kata para pembesar agama, dan memang adalah suatu kebenaran dan ketetapan bahwa setiap yang berjiwa akan mengalami kematian.

"kau tahu bagian mana yang paling menyakitkan dari berpisah?
berpisah karena kematian.
Tak peduli seberapa besar kau merindukannya, dia tak akan kembali ke dunia." - unknown


Saya tidak begitu bisa banyak mengingat tentang kenangan bersama adik karena keterbatasan dalam merekam memori, mengingat usia saya yang waktu itu belum genap berumur lima tahun.

Yang saya sangat ingat dulu ketika adik saya meninggal-kan dunia ini, para keluarga berkumpul di depan rumah, beberapa menangis.
saya hanya diam, karena tidak mengerti.
Ada saat ketika saya berhasil masuk rumah, saya melihat ibu saya sedang meronta (hendak melepaskan) genggaman tangan Bapak dan beberapa saudara yang dengan kuat memegangi ibuk yang bergulung di lantai rumah. 

Sekali lagi, saya masih tidak mengerti akan apa yang terjadi, tapi melihat ibu saya menangis sejadi-jadinya, saya pun kemudian ikut menangis.

Barulah ketika sudah sedikit dewasa, saya bisa berangsur-angsur mengerti apa itu kematian, dan mengapa adik saya bisa mengalaminya.


(Untuk mengubur luka di dalam hati ibu saya dulu, saya dengan Ibuk harus berpisah sementara dengan Bapak dan Mbak selama kurang lebih satu tahun untuk hidup di Jogja.
"supaya ndak kelingan terus"
"supaya tidak mengingat terus", kata ibuk.)


Komentar